made bayak

Bhuta Kala Plastik Poleng by anggara mahendra

KEPERCAYAAN DAN MEMORI MASA KECIL

20210515 galeri zen1 - made bayak - bhuta kala plastik poleng - 41.JPG

Kasar, tidak elok. BANAL!

Impresi pertama saya ketika melihat karya Made Bayak.

Seakan teriakan sang seniman yang ingin berkata “BAHAYA DI DEPAN MATA!!” tapi tak ada yang memerhatikan.

Memang susah berbahasa pada dunia yang ramai bahasa. Tapi seni bisa diterima dunia.

Ini cara Bayak berteriak.

Ia seakan menceritakan masa kecilnya di Guwang ketika menelusuri sungai dan melihat plastik berserakan. Terserak di tepian, ada yang menyangkut di dahan pohon dan bebatuan. Garis hitam putih vertikal yang menurutnya mirip seperti kain poleng yang digunakan pada ‘tugu karang’.

Ada warna abu-abu diantara hitam dan putih kain ini.

20210515 galeri zen1 - made bayak - bhuta kala plastik poleng - 07.JPG

Tugu Karang ditempatkan di dekat pintu masuk yang didalamnya terdapat Sang Kala Raksa. Ia bersifat Bhuta Kala yang bisa berarti positif atau negatif. Dengan memberikan tempat dan persembahan, penghuni rumah berselaras dengannya.

Plastik ibarat Bhuta Kala di zaman modern ini. Kalau kita bisa memanfaatkan dengan bijaksana, ia akan berselaras dengan manusia dan bumi. Begitu juga sebaliknya.

Penggunaan sekali pakai bisa mengendap di tanah dan merusak unsur baik didalamnya. Bisa juga terserak, terhempas angin, terbawa hujan dan ikut mengalir bersama aliran sungai yang bermuara di laut.

Laut adalah Ibu dalam filosofi Hindu Bali. Gunung adalah Ayah yang disebut dengan konsep segara gunung.


MANUSIA BIASA

"Dianggap warga biasa aja. Kerjanya ngelukis, suka mungutin sampah" jawab Bayak.

Saya penasaran bagaimana tanggapan tetangga dan warga desanya tentang Bayak yang karyanya sudah mendunia.

Karena menurut saya isu plastik ini sangat elit. Tak semua lapisan masyarakat menganggap ini masalah. Toh mereka masih hidup, bersenang-senang dan membahas isu politik dan masalah Bali hingga dunia dengan perut kenyang.

Sudah 10 tahun Bayak mengerjakan karya bertema sampah dan menurutnya memang susah. Susah banget mengedukasi warga.

”Saya nggak bisa frontal memberi tahu bahaya sampah pada warga sekitar rumah saya, bisa jadi masalah nanti. Pernah kejadian saya hampir bertengkar dengan tetangga gara-gara ini'“, ujarnya.

Ketika petani di desanya membuang sampah plastik di sawah. Bayak kemudian memungutnya dan hanya menjawab “jelek ngenah misi sampah, pedalem suba luwung carikne” (jelek kelihatan isi sampah, sudah bagus begini sawahnya).

Bayak hanya manusia biasa di mata warga, ia bukan pejabat yang ketika bersabda, maka warga akan mengangguk-angguk.

Detail pada lukisan ‘Bedawang Nala’. Mix media plastik poleng dengan teknik drawing dan pewarnaan gradasi seperti ‘sigar mangsi’.

Detail pada lukisan ‘Bedawang Nala’. Mix media plastik poleng dengan teknik drawing dan pewarnaan gradasi seperti ‘sigar mangsi’.

Drawing karakter yang terinspirasi dari rerajahan (gambar yang berisi simbol magis) Bali diatas plastik bekas.

Drawing karakter yang terinspirasi dari rerajahan (gambar yang berisi simbol magis) Bali diatas plastik bekas.

PROSES

Saya memerhatikan plastik dalam setiap karyanya sudah sangat tipis dan terkesan ditempel. Tapi kalau hanya lem dan ditekan tak akan seperti itu.

Bayak menceritakan setiap plastik itu ditekan menggunakan alat khusus yang ia buat. Menggunakan tenaga panas yang diatur suhunya tak sampai 100 derajat.

Tujuannya hanya agar plastik tertekan dan tipis sehingga mudah dibentuk menjadi karya yang ia mau. Sebisa mungkin plastik tak melepuh dan mengeluarkan asap. Karena saat berasap ia akan menjadi racun untuk bumi.

BHUTA KALA PLASTIK POLENG


Pameran ini berlangsung di Galeri Zen1 Kesiman/ Second Floor Coffee lantai 3, Jalan By Pass Ngurah Rai No. 86 dari 15 Mei - 13 Juni 2021.

Igo yang juga mengelola Galeri Zen1 memberikan tantangan untuk Bayak menggunakan pewarna alami pada karya yang dipamerkan. Prosesnya bisa dilihat dengan scan barcode pada karya ini :

GALERI FOTO :

Silakan klik foto-foto ini untuk koleksi dokumentasi dari saya.