Catatan Visual - Arah Cahaya by anggara mahendra

“Motret gitu aja gampang, tinggal jepret-jepret!”

Sering dengar yang seperti ini?

Untuk orang awam, cara si penutur visual ini bergerak seperti ‘effortless’.

Seperti mudah saja bergerak sedikit lalu memotret dan dapat foto yang diinginkan.
Cara ini seakan-akan mudah ditiru begitu saja kalau dilihat langsung.

Tapi didalam kepala si perekam cahaya ada materi tentang komposisi, arah datang cahaya, observasi gerakan dan mempelajari momen apa yang penting untuk direkam, juga menarik dinikmati secara visual.

Misalnya foto dibawah ini.

Di momen ini ada Cok Toris, teman pengrajin bambu dari Blahbatuh yang sedang mengerjakan detail interior di rumah bambu.

Cahaya frontal dari depan dan semua terlihat terang.
Fotonya diambil dengan baik, tapi menurut saya kurang dramatis.
Datar saja!

Cahaya frontal dari depan.

Cahaya frontal dari depan.

Tak puas dengan yang ‘baik’ saja, saya bergeser ke kiri mencari kemungkinan tipe cahaya.

Akhirnya dapat momen dengan cahaya yang jauh lebih dramatis.

Semua ini didapat dengan sedikit kerja keras, menggeser posisi memotret.

Cahaya dramatis bisa terjadi jika ada gradasi antara gelap dan terang sehingga foto terlihat lebih berdimensi dan menarik secara visual.

Gradasi cahaya ini semakin menegaskan bentuk.

Entah bentuk bambu yang semakin terlihat dimensinya, manusia dengan lekuk tubuhnya, dan unsur-unsur lainnya pada visual.

Dengan tipe cahaya samping seperti ini akhirnya saya memutuskan untuk memotret lebih dekat pada detail apa yang Cok Toris kerjakan.
Cahaya ini membuat bagian tajam pisau semakin tegas, lengkungan bambu luar lebih terlihat.

Semua ini hanya karena cahaya.

Mempelajari arah datangnya cahaya adalah satu bagian dari dasar fotografi.

Meski di zaman modern ini semua bisa dilakukan dengan instan dan alat yang sangat mendukung, tapi dasar yang kuat sangat diperlukan untuk penugasan foto dimanapun dan kapanpun.


Catatan visual, 7 Juli 2021.

Anggara Mahendra

Balik Layar Satu Foto by anggara mahendra

Dalam 1 foto ada banyak “kenapa” dibalik otak fotografer

Kenapa foto seperti ini dibuat?

Kenapa harus dengan lensa itu?
Kenapa di momen itu?

Kenapa di cahaya itu?

Kenapa harus dengan elemen gambar itu?

Kenapa tanpa bokeh?

Kenapa ekspresi saat itu?

Kenapa gesturnya harus itu?

Kenapa harus warna dan latar itu?

Kenapa harus gelap/terang dieditnya?

Kita coba bahas satu foto karya:

Teknis :Fuji Xpro2 /  Fujinon 23mm f2  / shutter speed 500 / diafragma 10 / ISO 400 / available light / 14:39 PM - WITA / Desa Les, Tejakula, Bali UtaraSeorang laki-laki menekuk daun kelapa untuk dijadikan atap tradisional.

Teknis :

Fuji Xpro2 / Fujinon 23mm f2 / shutter speed 500 / diafragma 10 / ISO 400 / available light / 14:39 PM - WITA / Desa Les, Tejakula, Bali Utara

Seorang laki-laki menekuk daun kelapa untuk dijadikan atap tradisional.

Beberapa jawaban yang bisa dirangkum dari Kenapa.

  1. Kenapa foto seperti ini dibuat?

    Saya ingin menampilkan sosok warga desa yang beraktifitas ekonomi di desanya dengan informasi yang cukup padat. Sosoknya terlihat jelas dari ujung kepala hingga kaki untuk menunjukkan profil yang tersirat kelas ekonominya dengan tipe profesi demikian.

  2. Kenapa harus dengan lensa itu?

    23mm ini ekuivalen dengan 35mm di full frame yang menurut saya jadi seperti replika bagaimana mata kita melihat. lensanya tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat sehingga menurut saya pas.

  3. Kenapa di momen itu?

    Ada daun di kanan yang kebetulan dipegang oleh orang lain. Saya tak menampilkan sosoknya karena hanya perlu tekstur dari daunnya yang ketika digabung dengan yang dipegang bapak ini, mereka seakan-akan memberikan garis imajiner yang menjadi bentuk baru dalam frame foto secara keseluruhan. Seperti ada huruf X dari elemen daun.

  4. Kenapa di cahaya itu?

    Penugasan di lapangan, waktu yang singkat. Saya memotret dengan tipe cahaya apapun. Cari keindahan dalam setiap momen dan elemen yang ada. Tak harus cahaya super bagus dari sunrise atau sunset. Membangun cerita bisa dengan apa saja.

  5. Kenapa harus dengan elemen gambar itu?

    Penekanan cerita. Si bapak bekerja membuat atap dari daun kelapa. Jadi elemen yang harus ada ya subyek (si bapak) dengan gestur yang tepat (melipat daun) dan daun itu sendiri. Bisa saja daun dibawah tanpa tambahan daun di sebelah kanan. Tapi daun di kanan justru jadi penyeimbang frame foto. Kiri sudah penuh dan kanan kurang tekstur yang nantinya bisa membuat mata kita justru fokus ke ruang yang kosong. Ini gak bagus karena foto jadi nggak utuh. Kebetulan ada warga lain yang memegang daun di kanan (tanpa settingan dari saya) dan saya foto saja untuk memenuhi ruang kosong dan memberi tekstur.

  6. Kenapa tanpa bokeh?

    Foto bagus tak harus penuh dengan blur yang terkesan cantik dan rapi. Saya suka memasukkan banyak elemen pada foto. Elemen-elemen ini seperti menjadi penanda zaman. Entah baju, latar belakang, sandal, dan lain-lain. Banyak detail kecil yang bisa jadi bahan penelitian jika dibedah secara rinci.

  7. Kenapa ekspresi saat itu?

    Ada ekspresi senyum, dan tertawa ketika saya menghampiri meereka. Tapi saya ingin ekspresi senatural mereka ketika bekerja. Saya tunggu dan akhirnya mereka lelah senyum dan tertawa. Mereka cuek dan kembali ke ekspresi awal ketika bekerja.

  8. Kenapa gesturnya harus itu?

    Saya selalu memerhatikan gestur. Hal ini krusial, tergantung dari cerita apa yang ingin saya bangun. Di foto ini saya hanya ingin menceritakan bagaimana warga desa melipat satu per satu daun kelapa untuk dijadikan atap. Ya saya observasi bagaimana gesturnya lalu jepret rana ketika gestur mereka sudah benar.

  9. Kenapa harus warna dan latar itu?

    Latar belakang sederhana dan tidak membuat mata bingung. Ada latar belakang dan warna-warna lain kalau saya bergeser. Misalnya ada warna merah, dan hijau alam tapi terlalu rumit! Saya sudah banyak memasukkan elemen rumit seperti daun pisang, jadinya saya cari kontras dengan latar sederhana agar pembaca bisa lebih mudah memahami dan menikmati foto.

  10. Kenapa harus gelap/terang dieditnya?

    Ini soal rasa dan selera saja. Satu foto bisa dibuat moodnya dengan lebih terang atau gelap pada foto.

Dalam 1 foto ada sekian banyak pemikiran ini yang berjalan sebelum dan saat saya memencet tombol rana.

“Ah gampang, tinggal jeprat-jepret saja!”



Salam dari Balik Layar

#catatanvisual

Bhuta Kala Plastik Poleng by anggara mahendra

KEPERCAYAAN DAN MEMORI MASA KECIL

20210515 galeri zen1 - made bayak - bhuta kala plastik poleng - 41.JPG

Kasar, tidak elok. BANAL!

Impresi pertama saya ketika melihat karya Made Bayak.

Seakan teriakan sang seniman yang ingin berkata “BAHAYA DI DEPAN MATA!!” tapi tak ada yang memerhatikan.

Memang susah berbahasa pada dunia yang ramai bahasa. Tapi seni bisa diterima dunia.

Ini cara Bayak berteriak.

Ia seakan menceritakan masa kecilnya di Guwang ketika menelusuri sungai dan melihat plastik berserakan. Terserak di tepian, ada yang menyangkut di dahan pohon dan bebatuan. Garis hitam putih vertikal yang menurutnya mirip seperti kain poleng yang digunakan pada ‘tugu karang’.

Ada warna abu-abu diantara hitam dan putih kain ini.

20210515 galeri zen1 - made bayak - bhuta kala plastik poleng - 07.JPG

Tugu Karang ditempatkan di dekat pintu masuk yang didalamnya terdapat Sang Kala Raksa. Ia bersifat Bhuta Kala yang bisa berarti positif atau negatif. Dengan memberikan tempat dan persembahan, penghuni rumah berselaras dengannya.

Plastik ibarat Bhuta Kala di zaman modern ini. Kalau kita bisa memanfaatkan dengan bijaksana, ia akan berselaras dengan manusia dan bumi. Begitu juga sebaliknya.

Penggunaan sekali pakai bisa mengendap di tanah dan merusak unsur baik didalamnya. Bisa juga terserak, terhempas angin, terbawa hujan dan ikut mengalir bersama aliran sungai yang bermuara di laut.

Laut adalah Ibu dalam filosofi Hindu Bali. Gunung adalah Ayah yang disebut dengan konsep segara gunung.


MANUSIA BIASA

"Dianggap warga biasa aja. Kerjanya ngelukis, suka mungutin sampah" jawab Bayak.

Saya penasaran bagaimana tanggapan tetangga dan warga desanya tentang Bayak yang karyanya sudah mendunia.

Karena menurut saya isu plastik ini sangat elit. Tak semua lapisan masyarakat menganggap ini masalah. Toh mereka masih hidup, bersenang-senang dan membahas isu politik dan masalah Bali hingga dunia dengan perut kenyang.

Sudah 10 tahun Bayak mengerjakan karya bertema sampah dan menurutnya memang susah. Susah banget mengedukasi warga.

”Saya nggak bisa frontal memberi tahu bahaya sampah pada warga sekitar rumah saya, bisa jadi masalah nanti. Pernah kejadian saya hampir bertengkar dengan tetangga gara-gara ini'“, ujarnya.

Ketika petani di desanya membuang sampah plastik di sawah. Bayak kemudian memungutnya dan hanya menjawab “jelek ngenah misi sampah, pedalem suba luwung carikne” (jelek kelihatan isi sampah, sudah bagus begini sawahnya).

Bayak hanya manusia biasa di mata warga, ia bukan pejabat yang ketika bersabda, maka warga akan mengangguk-angguk.

Detail pada lukisan ‘Bedawang Nala’. Mix media plastik poleng dengan teknik drawing dan pewarnaan gradasi seperti ‘sigar mangsi’.

Detail pada lukisan ‘Bedawang Nala’. Mix media plastik poleng dengan teknik drawing dan pewarnaan gradasi seperti ‘sigar mangsi’.

Drawing karakter yang terinspirasi dari rerajahan (gambar yang berisi simbol magis) Bali diatas plastik bekas.

Drawing karakter yang terinspirasi dari rerajahan (gambar yang berisi simbol magis) Bali diatas plastik bekas.

PROSES

Saya memerhatikan plastik dalam setiap karyanya sudah sangat tipis dan terkesan ditempel. Tapi kalau hanya lem dan ditekan tak akan seperti itu.

Bayak menceritakan setiap plastik itu ditekan menggunakan alat khusus yang ia buat. Menggunakan tenaga panas yang diatur suhunya tak sampai 100 derajat.

Tujuannya hanya agar plastik tertekan dan tipis sehingga mudah dibentuk menjadi karya yang ia mau. Sebisa mungkin plastik tak melepuh dan mengeluarkan asap. Karena saat berasap ia akan menjadi racun untuk bumi.

BHUTA KALA PLASTIK POLENG


Pameran ini berlangsung di Galeri Zen1 Kesiman/ Second Floor Coffee lantai 3, Jalan By Pass Ngurah Rai No. 86 dari 15 Mei - 13 Juni 2021.

Igo yang juga mengelola Galeri Zen1 memberikan tantangan untuk Bayak menggunakan pewarna alami pada karya yang dipamerkan. Prosesnya bisa dilihat dengan scan barcode pada karya ini :

GALERI FOTO :

Silakan klik foto-foto ini untuk koleksi dokumentasi dari saya.